Sabtu, 28 Agustus 2010

Pena kehidupan goreskan catatan kalbuku tentang Ibu










Bismillah,

Assalamualaikum waarahmatullahiwabarrahkatuh,





"Perjuangan dan pengorbanan yang tidak bisa ternilai dengan harga mahal sekalipun tersirat dari dia yang memilikki jiwa yang besar dan hati yang ikhlas."





Aku terlahir di keluarga yang mungkin menurut pandanganku sendiri masih jauh dari kecukupan. Akan tetapi walaupun hidup berada di tengah – tengah kesulitan, kedua orang tuaku, bapak dan ibuku tidak pernah sama sekali menyerah demi memberikan yang terbaik untukku dan bagi ketiga adikkku. Dari kecil ibu memang mendidik kami berempat dengan disiplin yang keras dan tegas. Mungkin juga karena itu, aku dan ketiga adikku segan kepada ibu. Meskipun ada rasa segan, bukan berarti pula kehangatan hubungan kami menjadi hambar, akan tetapi justru sebaliknya. Yah, Ibu. Ibu jika dibandingkan dengan bapakku, mungkin jauh lebih galak. Tapi dialah wanita yang berbeda menurutku, Ibu tidak pernah mengajarkan putra dan putrinya manja terhadap apa yang menjadi keinginan buah hatinya. Alhasil, sikap itu terbawa olehku, dan ketiga adikku, sampai dewasa kini. Walaupun tidak semuanya seperti demikian, pastilah adikku yang paling kecil dialah yang manja dengan ibu. Wajar sih, karena dia anak yang paling bungsu.





Bertumbuh dan berkembang dalam didikan dan ajaran ibu adalah suatu hal yang indah yang pernah ada dalam hidupku. Karena di mata kami dialah ibu yang penuh semangat juang, semangat untuk memaksimalkan usaha agar buah hatinya tidak merasa kekurangan. Keberhasilan dan kecemerlangan yang dapat ibu bangun juga ibu ciptakan dari kepribadian yang biasa dengan kedipilinan, itulah yang membuat kami belajar untuk bertanggung jawab dari hal yang kecil hingga hal yang besar. Dan Alhamdulillah, itu berhasil dengan beberapa bukti yaitu keberhasilan yang dapat dicapai oleh Tauzan dan Vian, karena mereka di mata guru adalah siswa yang cukup berbakat dalam bidang seni dan mata pelajaran sampai sekarang. Masya Allah. Tiada kebahagiaan yang paling membahagiakan bagi seorang ibu di dunia ini selain dia dapat melihat keberhasilan, merasakan kebahagiaan buah hatinya. Bapak pun seperti itu, bapak tidak pernah bisa diam untuk mencari dan berusaha menghidupi kami keluarganya. Seorang yang pendiam dan sabar, tak banyak bicara dan melakukan hal dengan apa yang semestinya ia lakukan, sungguh – sungguh dalam bekerja itulah bapak. Bapak dan ibuku, adalah inspirasi sejati bagiku. Dan itu menjadi sangat berarti setelah hiasan kelam itu berada dalam ruang kelabu di salah satusisi kehidupanku. Yah, setelah luka itu tergores dan melekat dalam jiwaku.





Pernahkah Anda mendengar perkataan bijak,”orang yang mulia hatinya ialah orang yang paling sedih hatinya, namun dalam kesedihan orang tersebut hanya berupaya untuk membahagiakan orang lain yang dia sayangi”. Kepribadian yang mulia dan bijaksana ini tercipta dari jiwa yang utuh, jiwa kuat, yang dapat membangun ketika dinding – dinding hati mulai rapuh dan runtuh. Dialah Sang Bidadari Panutan di dunia, penggugah sukma untuk selalu menuangkan isi, misi, dan visi dalam kanvas kehidupan ini. Hitam putih bahkan beragam warna indah ia torehkan kepadaku satu persatu, hingga pada akhirnya aku bisa memahami dan dapat memilih tinta warna hidup manakah yang semestinya ku hiaskan dalam perjalanan hidupku. Ibu, tiada satu kata yang mampu ku ungkapkan, dan apabila harus ku tuangkan dalam indahnya sajak dan syairku, maka itu tidaklah cukup bagiku untuk menggambarkan kekagumanku akan kasihmu. Terasa sesak bak terhimpit puing - puing asa di ulu hatiku, ketika segumpal rindu itu memenuhi ruang dalam dadaku. Ibu sungguh aku merindukanmu. Kedukaan itu masih terselebung dalam benakku, bayang – bayang hitam seolah mempersalahkan aku sejak 4 tahun kepergianmu untuk selamanya yang sungguh tak terduga olehku. Bagaikan rahasia illahi, dan hanya Tuhan -lah yang Maha Tahu. Jika aku mengulas kembali tentang siapa dan bagaimana sosok itu, air mata di sudut kedua kelopak mata inipun tak mampu tertahan dan hhh...kubiarkan membasahi wajahku. Ya Allah, perih dan sedih.










Ucapan mulia dan doa tulus dari mereka hari itu, 28 September 2009, semakin memilukan kerinduan ini. Jauh sudah aku beralih dari kenangan pahit itu, namun sungguh, aku tak bisa melupakan peristiwa na'as yang tengah merenggut nyawa bidadari duniaku, panutanku. Peristiwa yang membuat aku hancur ketika bunga – bunga itu mulai bermekaran di hatiku. Hari dimana yang aku anggap spesial dengan adanya hangat sambutmu, semuanya lenyap dan sirna. Bahkan tak ada cerita, di hari indah itu yang aku lalui bersamamu. Adakah sang waktu mau mengertiku? semua sudah terjadi, dan luka.





Kisah sedih ini terjadi pada Minggu, 04 September 2005, pukul 08.00 wib. Ketika Bapak pergi bekerja di luar kota, di Cimahi Bandung.





Malam itu sebelum ibu tidur, ibupun sempat menyatakan keinginannya padaku, “Ana, bagaimana nanti kalau ulang tahun kamu yang ke 16 tahun ini, ibu traktir saja ke restoran padang langganan ibu, ajak 10 teman kamu, mau?” tanya ibu padaku. Akupun tersenyum, hm, rasanya tak kalah manisnya dari ibu, “bener ibu mau traktir temenku?”,iya deh boleh”. Aku peluk tubuh ibuku disampingku. Malam itu aku merasa begitu dekat dengan ibu, perasaanku haru. Ku sibak malam yang sunyi, diam - diam aku panjatkan doaku dengan lirihku dalam hati. ”Ya Allah, aku sayang ibu dan bapakku, maafkanlah kesalahanku jika sempat aku membiarkan air mata kedua orang tuaku membasahi wajah mereka karenaku, jadikanlah aku dan adikku anak yang berbakti dan yang mampu memberikan balasan jasa yang terbaik bagi keduanya ya Allah, berikan aku kesempatan itu, dan sediakanlah tempat yang indah di syurgaMU bagi kedua orang tuaku, terutama bagi ibuku, amin.” Aku peluk ibuku dengan erat, ternyata ia sudah terlelap lebih dahulu dariku. Ibu, aku sayang padamu.







Hari itu cerah, seperti biasanya aku membantu ibu membersihkan rumah. Pagi itu ibu terlihat lebih tenang, dan tak tampak perangai ketegasan dan keras yang telah menjadi tabiatnya. Ibu sudah mencuci baju - baju kotor kami, dan bahkan ibu sudah menanak nasi untuk kami. Selepas membersihkan tempat tidur, adiku Tauzan melanjutkan tidurnya kembali, dia memang suka bangun siang kalau di hari libur. 2 adiku, Vian dan Oki yang sudah mandi, mereka sudah pergi untuk bermain bersama temannya. Rumah kontrakan kami memang rawan, tepat di depan rumah kami adalah rel K.A, dimana Kereta Api sering melintas dengan bunyi alarmnya yang melengking. Di tengah – tengah rel tersebut terdapat ruang yang cukup luas meskipun depan belakangnya diapit rel K.A yang cukup rawan jika tidak berhati – hati. Dan di situlah bapakku membuatkan tiang khusus untuk menjemur pakaian kami, tiangnya dari besi, dan talinya tali dadung, agar kuat untuk menjemur pakaian yang berkain tebal. Pada waktu keluar rumah, aku bermaksud menyusul ibu yang sedang menjemur pakaian dan sekalian mau ambil lap pel. Sewaktu mau menghampiri ibu untuk meminta kain pel, aku berhenti sejenak karena aku melihat ada loko KA putih yang akan melintas tepat di depanku. Ku hentikan langkahku, mundur perlahan. Jujur saat itu ada perasaan tidak enak melihat ibuku, keinginan untuk berteriak memberitahu “awas bu ada kereta minggir dulu”. Itu tersendat di kerongkonganku, karena aku melihat ibuku masih sibuk dengan pakaian yang dijemurnya jadi aku berfikir, ibu belum akan menyeberang untuk kembali pulang. Saat memundurkan langkahku, aku melihat loko KA yang tanpa bel melintas halus namun cukup kencang, dan bersamaan itu ibupun berjalan dan akan menyeberang untuk pulang. Aku berteriak untuk mengingatkan ibu untuk berhenti dulu dan memundurkan langkahnya, tapi ternyata ia tidak mendengar teriakanku, dan semua orang yang di situ ikut panik sepertiku.





Di belakang ibu ada K.A ekonomi, sebab itulah ibu tidak terhiraukan dengan teriakan kami. Loko K.A putih dari arah barat tak dilihat oleh ibuku, karena pada waktu ibu berjalan menyeberang ke arahku ibu menolehkan kepalanya ke arah timur. Semuanya berteriak, tapi tetap saja ibuku tak mendengar lantaran K.A ekonomi yang melintas dari rel arah belakangnya terlalu bising. Alhasil saat ibu menolehkan kepala ke arah barat, ibu tersentak kaget, suara menjerit menggema di udara, aku melihat semuanya waktu itu. Ibuku terhempas, terjerembab ke dalam seretan loko K.A putih itu.”Allah, Astgfirullah, Ibu, Ibu!” Aku kaget, berlari berusaha mengejar loko K.A putih itu sembari lisanku terus beristigfar. Ibuku terseret 3 meter dari depan rumah kontrakan kami., setelah K.A itu berhenti baru terlihatlah tubuh ibu, ia tergeletak di tengah rel yang penuh bebatuan itu. Aku meminta pertolongan tetangga yang ada di situ untuk mengangkat ibuku. Dengan setengah hati yang masih tak percaya, aku memanggil - manggil ibuku, ”Astgfirullah..ibu, ibu ya Allah, ibu”. Aku menangis. Tidak ada yang mendekatiku dan berusaha menolong ibu dan aku. Mungkin semua yang ada di situ merasa ngeri melihat kejadian ini, tapi tetap saja aku berteriak meminta bantuan ”Tolong pak,tolong saya, tolong ibu saya!” aku berteriak minta pertolongan. Beberapa saat kemudian Tauzan, adiku berlari keluar menangis, dia mendekatiku dan mencoba berusaha membopong ibu kami, tapi kami tidak kuat jika harus membopong ibu dengan perasaan yang lunglai kala itu. Aku lihat ibu terengah dengan nafasnya, dan akhirnya ada tetangga yang mau menolong kami.







Mas Reman. Dia tetangga satu kontrakan dengan kami, dialah yang membantu membopong ibuku ke tepi di teras tetangga yang tak jauh dari rumahku. ”Astagfirullah ibu, ya Allah ibu, istigfar bu, sebut nama Allah, astgfirullah ibu, Ibu!” kataku sambil terisak. Tangisku belum begitu histeris saat itu, sebab aku masih merasa tak percaya semua itu terjadi di depan mataku, di hadapanku.. Aku memeluk ibuku erat-erat, aku mencoba memeriksa nafasnya, ya Allah, masih ada, aku periksa denyut nadi di tangannya, Alhamdulillah masih ada, aku periksa apa yang kurang dari bagian tubuhnya, Astgfirullah kaki ibu sebelah kanan tergilas roda K.A, dari bagian tengah pahanya ke bawah. Suasana begitu gaduh dan ramai melihat keadaan ibuku. Lalu tiba - tiba ada 2 orang ibu-ibu mencoba mendirikan tubuhku dan membawa aku pulang. Aku merengek, “Aku ga mau, aku mau ibuku, aku ga mau pulang, tolong ibu saya bu, ibu saya belum meninggal, tolong bu, tolong saya” ujarku pilu. Peristiwa tragis itu membuat aku benar - benar merasa hatiku yang semula utuh menjadi runtuh.







Aku melihat ibuku ditutup dengan tikar oleh ibu Tumini, tetanggaku. Kembali aku berlari dan aku berkata kepadanya keras-keras, ”kenapa ibu menutup tubuh ibu saya? ibu saya belum meninggal! ibu saya masih hidup,buka tikarnya! kamu jahat sama ibu saya!”, Namun kedua ibu tadipun kembali mencegahku untuk mendekati ibu. Berhasil dibawa kerumah, pun aku duduk menepis dari keramaian orang – orang sekitarku, orang yang berdatangan ke rumah kontrakanku, tak sedikit dari mereka berusaha menenangkan aku, aku limbung. Terdiam membisu, masih tercenung dengan asa yang bergemelut di dalam dadaku, rasa yang tak mampu aku tuturkan dalam bahasa apapun kala itu. Aku sedih.







”Ya Allah.Innalillahi wainnalillahi rajiun” lirihku. Pikiranku kalut, galau, pandanganku kosong menerawang jauh mencari celah dan berharap ada sinar terang yang mampu mencerahkan hatiku atas kejadian ini. Aku berusaha untuk menenangkan diriku. Ami sahabatku yang kini sudah berkeluarga menarik tubuhku dan memeluku erat - erat, dia berkata padaku “Sabar Na, insya Allah ibu kamu bisa ditolong.” ujar Ami menenangkan aku, aku tak bisa berkata apapun. Ucapan tasbih masih mengalun dalam hatiku, berusaha menyadarkan diriku dari kesedihan ini, sungguh tak mudah bagiku. Setelah agak tenang, ku mencoba hubungi keluarga besarku, menyampaikan kabar duka ini. Tak lama kemudian salah seorang dari mereka yang datang ke rumah. Masih bersama diamku, aku berlalu dari hadapan sahabatku itu. Alhamdulillah aku cukup bisa menenangkan hatiku meski dengan perasaan yang tak pasti.







Usai shalat dhuha aku berdoa pada Allah, dalam doaku,





“Ya Allah, jika memang ini adalah kehendakMU, maka ikhlaskanlah hamba, meski sungguh sedih dan berat bagi hamba untuk melaluinya. Tabahkan aku ya Allah. Jika memang Ibu akan KAU panggil sekarang ini, insya Allah aku sudah siap. Berikanlah ibuku tempat terindah dan kedudukan yang Mulia di syurgaMU, ampunilah segala dosa dan maafkanlah segala kesalahannya, sayangi dia dan jagalah dia, kuatkan aku, bapaku dan ketiga adikku untuk menerima semua ini, sabarkan aku, tegarkan aku ya Allah. Ikhlaskan aku, ikhlaskan aku, Ikhlaskan aku ya Allah, Amin”.





Wajahku basah penuh dengan air mata. Mengingat semalam apa yang ibu katakan padaku. Begitupun masih terngiang olehku ketika ia bercengkerama tentang alur dalam sebuah perjalanan hidup ini. Astgfirullah, ya Allah. Aku kehilangan sosok wanita tegar itu. Usai diurus oleh Pihak KA, ibu dikabarkan telah meninggal dalam perjalanan rumah sakit. Innalillahi wainnalillahi rajiuun, lagi – lagi aku mencoba berusaha tenang, meski tak dapat memungkiri aku begitu terpukul. Pilu. Ibu belum sempat menemaniku di 28 september nanti hari dimana aku bertambah usia yang ke 16 tahun, aku butuh ibu, tapi ibu telah meninggalkan aku, baru sebentar saja aku merasakan kehangatan ibu, belum sempat aku bisikan kalimat syahadat di ujung nafas terakhirmu ibu. Ya Allah, maafkan aku. Berikan yang terbaik baginya, bagi ibuku, dan KAU lah yang Maha Tahu niat tulus dalam hatiku, batinku. Sementara itu segala sesuatunya telah diurus oleh kakak ibu yang datang jauh dari Blora ke Solo, setelah ada kabar dariku siang itu juga. Sedangkan bapak yang masih berada di Cimahi, bekerja disana, kami belum siap memberikan kabar duka ini pada beliau saat itu.





Butuh waktu dan tindakan yang matang untuk menyampaikan berita ini kepada beliau. Beberapa saat kemudian, tersiarkan kabar Ibuku memperoleh santunan 10 juta dari PJKA, pihak K.A tersebut. Semakin perih hatiku saat mendengar itu, nyawa ibuku digantikan angka sekian. Sedangkan taruhan nyawanya bagiku tak akan ternilai dengan harga termahal sekalipun di dunia ini. Sebesar apapun nilai rupiah, tidak akan bisa menggantikan nilai yang sangat berarti bagiku. Melihat kebiasaan yang sederhana itu, ketelitian, dan penjagaan bagi kami putra putrinya, Ibulah yang terbaik. Pun sampai ibu meninggal, ibu telah selesai membersihkan rumah, dan memasak makanan untuk kami, rumah yang bersih dan wangi, baju yang tertata rapi, dan tidak ada sama sekali cucian kotor yang tertinggal, Masya Allah.





Sang bidadari panutanku telah pergi. Meskipun raganya telah berlalu dari kami, senyum darinya tak lagi hadir menyemangatiku, tetaplah dia masih di sini, ada bersama nurani, hidup abadi dalam jiwaku, bersinar terang di sudut-sudut gelapnya hatiku, menghangatkan relung - relung sukmaku dan menguatkan dinding - dinding kehidupanku.Ibu, selamat jalan, aku berjanji, selama aku masih bernafas, aku akan melakukan yang terbaik, seperti pesan yang sempat kau ucapkan padaku. Ibu dimakamkan di Blora, di tempat nenek, dimana kedua orang tua dari ibuku tinggal dan merawatnya dari kecil. Setiba jenazah ibuku di Blora, jenazah almarhumah tidak secara langsung dimakamkan, karena pemakaman almarhumah ibu diinginkan menunggu kepulangan bapak kami dari Cimahi terlebih dahulu.







Sesampainya bapak di Blora, ku tatap mata itu, merasakan jiwanya yang pulang penuh dengan sayatan luka, isak tangisnya begitu dalam. Bapak telah kehilangan orang yang sangat dia cintai, ia sayangi, dia yang berjuang bersama hidupnya selama ini. Dia yang menorehkan bait-bait dari kelamnya kehidupan hingga berbunganya cinta yang tumbuh berkembang dalam hati keduanya. Kedukaan ini, tak mampu terhapus oleh waktu dan masa yang membunuh akhir dari ujung asaku. Gemuruh badai dalam hati, membuatku serasa tak mampu untuk menegakkan langkahku saat itu, dan tiada henti buliran hangat ini terjatuh, menetes satu - satu, karena duka itu telah membenamkan aku di sudut kepiluan yang luar biasa.








Ibu sempurna dalam setiap kekurangannya, karena dalam rapuhnya ia bertahan, ia berusaha untuk tegar. Ia mengajarkan arti kesabaran dan keikhlasaan. Memahamkan aku tentang ketegaran. Sulitnya meraih hakekat kebahagiaan yang sesungguhnya dan mempertahankan kemuliaan, nyaris tak hentikan lelah langkah lunglai yang ada pada dirinya. Kedisplinan tinggi dan kerasnya ibu terhadap pendidikan, membangun kepribadian yang cermat dan teliti. Dan tentang hidup, kini aku dapat mengenal apa arti hidup yang sebenarnya, bagaimana kita berusaha dengan semestinya. Bagaimana kita berbagi, mengerti dan saling menghargai satu sama lain. Hati yang terang dan jiwa yang lapang, sungguh kau sempurna dalam kesederhanaan dan kekurangan. Ibu,aku masih ingat ketika kau memukul jari – jari mungilku dengan penggaris plastik bergambarkan hello kitty karena aku tidak bisa menulis angka 2 dengan tegak di lembar tugasku saat aku masih di bangku TK dulu. Aku teringat saat kau marah padaku, karena aku diam - diam mencuri makanan yang dilarang dokter waktu aku sakit gejala typus saat aku duduk di bangku kelas 3 SD, karena ternyata aku muntah di situ. Aku dengar doamu ibu. Aku mendengar doamu yang bersimbah penuh linangan air mata penyesalan dan takutnya kau kehilangan diriku. Kau inginkan aku cepat sembuh, kau menyayangiku dan kau tahu aku ringkih dengan kesehatanku.





Dulu ketika beberapa hari ibu dirawat di salah satu RS di Solo, sehabis melahirkan adikku Oki yang terpaksa dioperasi caessar, aku masih ingat meski samar, ibu menggigil di atas kasurnya setelah suster rumah sakit salah menyuntik obat untuk ibuku, dan terpaksa harus mencari donor darah karena kejadian yang hampir membuat aku kehilangnmu. Parah. Ibu kedinginan, menggigil hebat walapun ibu sudah diselimuti beberapa selimut tebal di atasnya. Aku tercenung melihat ibuku, saat itu aku masih duduk di kelas 2 SD. Ia sempat berucap padaku ”Nduk, berdoa nduk, shalat , berdoa buat ibu, ibu kedinginan nak....” sementara kakek ayah ibu dan bapak panik mencarikan donor darah untuk ibu yang ternyata di RS tersebut telah habis dalam persediaannya. Tanpa berfikir panjang aku mengambil air wudhu, dan shalat di samping bawah kanan, di dekat ibu, untuk mendoakannya agar ibu baik – baik saja. Pun terekam jelas dalam ingatanku, binar matanya saat memandangku mengenakan seragam putih abu – abu, membawa sarapan pagi seraya berkata padaku, “Ya ampun, sekarang putriku sudah SMA, kamu sekarang sudah besar loh Na!” oh ibu, engkau tampak cantik pagi itu. Ibu, maafkan aku ibu, selama ini aku mengira kau hanya menyayangi adik, ternyata begitu berharganya diriku bagimu. Maafkan aku jika aku tidak mau menjadi gadis yang pemberani seperti yang kau minta dan itu terlihat ketika aku kau paksakan ikut lomba nyanyi di malam 17-an dulu.





Tapi Ibu, aku akan berusaha dan melanjutkan perjuanganmu, aku akan buktikan pada semua orang, bahwa Kaulah yang terbaik, Kau mampu mengajarkan pribadi yang mulia dan mandiri pada kami, putra dan putrimu. Berikan Senyummu ibu, restui langkahku, aku mampu bertahan dalam kegetiran asa ini, itu juga karenamu, kau yang selalu mengajarkan arti keikhlasan, dan selalu belajar sabar untuk menerima keadaan. Aku mencintaimu ibu, aku merindukanmu, aku sangat merindukanmu. Kau memiliki andil besar dalam diriku. Semoga engkau tenang disana ibundaku, aku tak mau kau bersedih, meski ku tahu kau akan berduka jika melihat aku merana dan beruraikan air mata karena terluka. Tenanglah Ibu, akan kukirimkan doa-doa tulusku dari sini untukmu. Percayalah, kasihmu telah mampu menggoreskan tinta biru dalam kalbuku. Menopang dalam setiap deru langkah kehidupanku.







Alhamdulilah sekarang aku bekerja menjadi salah satu pegawai di net Blogger 2, yang tempatnya tak jauh dari rumahku. Sepeninggal ibu, penerapan disiplin aku contohkan kepada ketiga adikku, Tauzan, Vian, dan Oki. Sementara dengan bapak sendiri, sekarang akulah yang menjadi manager keuangan, juru masak dan teladan bagi adikku. Tidak mudah menjadi ibu, kita harus teliti dan cermat. Posisiku yang bekerja pun kadang tak bisa fokus dengan salah satu kebutuhan adiku, karena adiku. Berusaha belajar adil sesusai dengan kebutuhan yang adik – adikku perlukan. Alhamdulillah, sekarang akupun juga jarang sakit, tidak seringkih dulu. Tidak seperti waktu ibu masih ada, mungkin saat itu ada yang menjagaku dan sekarang kalau aku sakit siapa yang akan mengobatiku?kalaupun ada, aku merasa adik dan bapakku jauh lebih membutuhkan perhatianku. Walau pun aku adalah anak perempuan, aku merasa mempunyai tanggung jawab terhadap keluargaku, ajaran mandiri dan berjiwa kuat dari ibu, kini telah melekat dalam pribadiku. Meski semua itu tak mengalir lengkap dalam diriku. Ibu pernah berpesan padaku “jadilah wanita yang tegar, yang kau pun mampu menjadi tempat bersandarnya suami dan anak - anakmu, karena kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti, jadi kamu harus mandiri, belajarlah menerima, sabarkan hati, dan berusahalah untuk selalu ikhlas ketika kau memberi. Jadilah pribadi yang sopan dan mengerti keadaan orang-orang di sekitar kamu nanti”. Masya Allah. Kasih sayang ibulah yang memberikan pengertian tentang ikhlas untuk memberi tanpa berharap kembali.





Pengorbanan yang besar ketika ia berjuang melahirkan kita ke dunia ini, mempertaruhkan nyawa demi kita darah dagingnya, telah mampu memahamkan aku tentang kerasnya berjuang dalam hidup dan rasa rela berkorban demi kebahagiaan yang lain. IA rela menguras keringat dan mengacuhkan rasa gengsinya demi memenuhi kebutuhan putra putrinya. Apakah kami pernah atau sering melihat dia mengeluh pada kami anak -anaknya?? jawabannya adalah tidak. Walaupun kami tidak kaya akan materi, tapi ibuku selalu berusaha menempatkan aku dan ketiga adikku dalam posisi yang pantas, entah itu dari pendidikan yang memang menjadi prioritas utama baginya untuk kami, hingga masalah asupan yang bergizi untuk kami, dan hal lain sekecil apapun itu. Ibuku adalah pribadi yang disiplin keras namun tetap hangat akan kasih sayangnya. Ia tak pernah kehilangan akal demi membantu bapakku mencari tambahan untuk kebutuhan kami, anak – anaknya. Subhannallah. Ibu yang dalam pandangan kami tak pernah terlihat takut ataupun gentar, ketika ia harus berkecimbung dalam keadaan yang rumit dan sulit. Panutan sempurna yang terkemas dari asa yang biasa, sampai dengan yang luar biasa. Itulah Ibukku.







Penuh rasa bersyukur, dan tidak ada rasa puas dalam berbuat kebajikan, disitu ibu mengajarkan kami tentang sikap yang selalu rendah hati. Kebenaran yang berjalan di atas fakta dan realita, tidak mudah dinilai hanya dengan sebatas perasaan saja. Hidup ini memerlukan tekad yang kuat, usaha yang keras. Cakrawala pagi masih menantang kita untuk berjuang, dan langit biru yang menghampar luas bersama awan - awan putih itu isyaratkan keceriaan, jadi pasanglah senyumu, dan niatkan dalam hatimu. Satu pesan, lakukan yang terbaik! Dan tunjukkan keberhasilan dari upaya ibu kita mendidik dan mengajarkan kita semenjak kita masih kecil. Buktikanlah tentang segala hal kepada semua orang, dari apa yang ibunda kita berikan. Memberi pengertian betapa mulianya diri yang lekat dengan kebersahajaan, penuh akan kebijakan dan menjadi manusia dewasa, yang mengerti bagaimana harus bersikap sekalipun saat kita menghadapi seburuk – buruknya keadaan, Ibulah yang mampu membangun citra diri itu. Dialah Ibu, aura bijaksana yang tertanam dalam sosoknya yang penuh dengan kelembutan. So, semangati diri untuk meraih point-point emas di kotak pahala! Jadilah anak yang berbakti pada kedua orang tua kita, terutama pada Ibunda tercinta.





Kisah ini sempat menempatkan aku dalam kepenatan yang panjang dan berhasil membawaku dalam keputus asaan. Tapi, aku tak bisa seterusnya berdiam diri. Aku harus tumbuh menjadi manusia yang dewasa dan sadar akan tanggung jawabku, dan sekaranglah waktunya untukku membuktikan semua itu. Walaupun air mata ini selalu meneteskan kepiluan jika rasa rindu itu hadir lagi, kehilangan dirinya bagaikan kehilangan separuh jiwa, karena dia terlalu berharga untukku. Begitu dahsyatnya hatiku luluh lantak ketika sang waktu begitu cepat membunuh massa yang berlari saat kebersamaan itu berada dalam genggamanku. Namun, aku berharap apa yang telah aku genggam saat ini, mampu menempatkan keyakinanku untuk tetap bertahan sampai akhir di penghujung usiaku nanti .Insya Allah, amin.





Perjalanan manusia menuju puncak kecemerlangan dengan tahta yang mulia, memang terjal, dan berliku. Akan tetapi, jiwa yang kadang rapuh, hati yang rentan apabila menemui rintangan yang bisa menyesekkan dada, memang perlu dilatih agar kita bisa kuat. Sehingga terciptalah dinding – dinding perisai yang kokoh untuk mempertahankan asa dari keterpurukan dan keterasingan. Betapapun sulitnya, yakinkan dalam diri kita bahwa kita mampu melewati segala nestapa dan duka, berusaha menjadi pribadi yang tenang dalam seburuk – buruknya keadaan, tetap sabar dan ikhlas dalam menerima segala kendala yang ada. Jadilah diri kita sendiri, semampu kita melakukannya. Semangat! *_^. Berjuanglah bersama ! berjuang bukan untuk menjadi “yang terbaik”, tapi “melakukan yang terbaik semampu kita”. Biaskanlah keindahan di wajah bidadari itu, agar ia tetap cantik dan anggun dengan senyumnya karena melihat kita berbahagia dengan hakekat kebahagiaan di dunia ataupun akhirat yang kita cari dengan cara – cara yang diberkahi oleh Illahi Rabbi. Insya Allah, amin.








Sebuah perjalanan yang panjang dan cukup pahit untuk aku telan. Seburuk apapun ibu, dialah yang melahirkan kita. Dialah yang mengajarkan kita tentang apa yang tidak kita bisa.Dia yang mengenalkan kita tentang kehidupan di dunia ini. Ia berikan arti baik dan buruk, ajarkan perbedaan hitam dan putihnya cahaya yang ada di depan kita, agar kita tidak salah untuk melangkah. Dari pendidikan, sosial, kebudayaan, agama dan kepribadian, Ibu multitalenta. Menjaga perasaan ibu sangatlah penting, jangan biarkan ibu kita terpenuhi kekesalan dan kecewa atas sikap kita. Selama kita mempunyai pesan dan ungkapan rasa kasih kepada ibu, maka katakanlah, jangan menunda apapun yang ingin kita sampaikan. Pun bukan berarti pula kejujuran itu tidak bisa membedakan keadaan dimana kita harus menjaga perasaan kepada setiap orang yang kita sayang. Tidak akan pernah ada ibu yang maukan anaknya sama dengannya, pastilah dia mengharapkan buah hatinya mendapatkan yang lebih baik dari apa yang ia milikki sekarang ini. Ibu akan melakukan hal apapun demi kita agar kita tetap merasa aman dalam penjagaannya, tentram dalam kehidupannya. Jika ibu pun mempunyai salah, pahamilah karena ibu kita juga manusia yang mempunyai kekurangan, dan letak kesalahan. Maka maafkanlah kesalahannya, ketika ia lupa untuk memperhatikan kita, saat dia mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya. Letakkanlah pengertian, pada siapakah semua pengorbanan itu berpulang? Ungkapkan dengan hati jika kita maukan perhatiannya yang lebih, bukan dengan emosi diri. Bertutr katalah penuh dengan sopan dan santun terhadapnya, hormatilah dirinya. Berhati - hatilah dengan perasaan yang halus itu. Jangan pernah lupakan dirinya demi harta, ataupun tahta.





Wajib kita sadari bahwasannya dari siapa kita mengenali itu semua. Setiap tetesan darahnya telah mengalir dalam tubuh kita, menyatu bersama jiwa kita, dan berdetak bersama jantung kehidupan kita. Ingatlah Ibu yang dengan sabar ketika kita menunda jam makannya demi membersihkan kotoran kita, bahkan ia tersenyum gemas saat melihat kita tertawa lebar dengan bibir mungil kita yang seolah tidak merasa bersalah karena telah menunda kelaparannya. Dia tidak akan marah saat kita menangis, merengek ingin disusuinya saat kita terbangun tengah malam kehausan, dan justru ia berbalik mencium dahi kita dengan penuh rasa kasih sayang sembari dengan segera ia memberikan asinya untuk kita. Ibu membenamkan tubuh mungil kita dalam pelukkannya, agar kita merasa nyaman. Belaian hangat tangannya, menyapu segala keresahan dalam jiwa kita. Seakan ibu meyakinkan bahwa kita aman dalam dekapannya. Ibu mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan kita, tak sedikitpun terhapus kasih sayangnya walaupun kita sering menorehkan luka dan kecewa.





Sungguh Ibu adalah bidadari yang mulia akan cinta dan kasihnya. Sosok beranugerahkan besar dari Tuhan Yang Maha Esa, yang mampu menginsiprasi tentang berbagai aspek dalam perjalanan hidup ini. Jangan biarkan rasa kehilangan itu semakin mencuat dalam peluh kita, hingga berakhir dengan kelukaan dan rasa hampa. Karena hal sekecil apapun, memang akan terasa hilang jika dia telah pergi meninggalkan kita, dan merana karena yang ada hanyalah sisa – sisa asa yang dulu sempat kita tepiskan dari pengakuan hati kita sendiri. Lakukanlah sekarang! katakan lah sekarang! dan sampaikan sekarang!, selama masih ada kesempatan dan waktu yang tersisa untuk kita.







Sekian terimakasih,



Wassalamuaalaikum warrahmatullahi wabarrahkatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar